Angka Satu
Intro lagu Angka Satu sayup terdengar dari warung kopi tak jauh dari rumahnya. Dodi ragu, dilihatnya jam di dinding. Benar saja, sudah jam 12.30 malam. Tak lama kemudian, lagu Angka Satu sudah mulai masuk verse pertama. Seseorang menyanyikan dengan penuh penghayatan, tapi dengan nada yang meleset jauh dari nada aslinya.
Sejak warung kopi Renungan Hati dibuka beberapa bulan lalu, hampir setiap malam Dodi harus tidur berteman dengan penyanyi-penyanyi amatir yang menikmati karaoke gratis di warung kopi itu. Awalnya sulit, tapi karena tak ada cara lain selain menerima keadaan, ia pun akhirnya bisa tidur terlelap berteman suara belting yang serupa teriakan tamtib, atau whistle voice yang lebih terdengar seperti suara musang terjepit pagar besi.
Ketika ia bangun esok paginya, istrinya sudah ada di sampingnya, masih terlelap. Riasan makeupnya masih belum dibersihkan semua, tapi sejumput senyum masih tersisa di ujung bibirnya.
Dodi bergegas ke dapur, menyalakan kompor, memanaskan air, lalu membersihkan ayam dan sayuran lainnya. Tiga puluh menit kemudian, istrinya menyusul ke dapur dan langsung sibuk menyiangi bumbu untuk soto ayam dagangan mereka.
Dodi geram melihat istrinya yang datang tanpa menegur. Sesekali ia melirik istrinya. Istrinya malah terlihat sibuk tersenyum ke tangkai sereh dan salam di tangannya. Dodi jadi kikuk sendiri. Ia makin dongkol. Periuk ditangannya terjatuh, memburakan suara nyaring.
“Hati-hati makanya!” istrinya terdengar amarah
“Ah, sok peduli lo!”
Istrinya cuek, lalu kembali menatap sereh dan salam di tangannya penuh hangat. Seperti ikut bahagia melihat sereh dan salam yang dipersatukan dalam ikatan karet gelang.
“Lo ngga peduli kan semalam gua tunggu lo sampe jam 1”.
Ekspresi wajah istrinya sontak berubah. Ia lalu memalingkan wajahnya ke Dodi.
“Siapa yang suruh lo nunggu”
Dodi tak lagi bisa menahan amarahnya. Ia banting periuk yang baru saja ia ambil dari lantai. Sang istri terkejut. Kali ini matanya malah menatap tajam ke Dodi.
“Dari mana lo semalam?”
“Gua kan udah bilang, dari salonnya Nora, creambath, rambut gua udah beruban dan bau, bau anyir kecepretan darah ayam”
“Gua tanya sekali lagi, ya, dari mana lo semalam?” Dodi dengan amarah mengambil periuk yang ia banting barusan.
“Lo ngga denger ya, dari salonnya Nora, nih lo cium rambut gua kalo ngga percaya”
Dodi bertambah kesal, periuk yang barusan ia ambil ia lemparkan ke arah Nita. Meleset. Seperti yang Dodi inginkan. Nita terkejut.
“Lo kira gua ngga tahu, semalem gua telepon Nora, dia bilang jam 3 lo udah cabut dari salonnya, lo dijemput pake mobil Avanza.” Nita tampak terkejut. “Hah? Kaget? kemana lo semalam?”
Nita sejenak kikuk, tapi kemudian terlihat amarah. Ia berdiri dari duduknya, kali ini tampangnya menantang.
“Iya, emang gua pergi ama Rudi, terus lo mau apa?”
Dodi baru saja akan melayangkan tamparannya. Ia hentikan disana, nafasnya terasa tersengal-sengal. Dadanya mulai sesak, tatapan matanya tajam, ada amarah dan kekecewaan yang bergejolak. Ia tentu masih ingat siapa Rudi.
“Emang kalo gua jalan lagi sama Rudi, kenapa? Dia udah cerai sama istrinya. Dia sebentar lagi pensiun, dia butuh pendamping.” Nafas Dodi makin berat. “Dua puluh tahun gua hidup sama elo, gua cuma jadi babu di rumah sendiri, gua pengen jadi nyonya, ada pembantu, ke salon tiap minggu, apa lo bisa kasih gua itu semua? Bisa?!” Dodi merasakan uap panas keluar dari hidungnya.
“Lo sanggup engga? Gua juga pengen bahagia Dod, hidup ama elo ngga ada senangnya. Bangun dari jam 4 tiap hari mana ada hasilnya. Boro-boro hidup tenang, yang ada tiap hari gua diteror kolektor. Gua cape Dod, cape!”
Dodi diam beku, keringatnya mengucur. Matanya basah tak terkendali. Pikirannya menerawang. Tak pernah ia membayangkan Nita akan meminta cerai darinya. Hidup buat Dodi memang selalu menantang. Tapi ia selalu optimis. Ia berani mencoba segala cara untuk bertahan, mulai dari jualan nasi goreng gerobak, jadi tukang pijat, sampai menjajakan makanan di kereta pagi. Ia terus mencoba untuk mengubah nasibnya karena Nita selalu bersamanya. Setiap ia lelah, Nita yang menyemangati untuk terus bertahan demi mereka, dan demi satu-satunya buah hati mereka.
Dodi mematung, menatap beku wajah Nita. Nita balas menatap, airmatanya menetes, isak tangisnya pelan terdengar. Suaranya pelan menghiba.
“Dod, kalau lo emang sayang sama gua, lo pasti pengen lihat gua bahagia, kan? Bantu gua Dod, bantu gua biar bisa hidup bahagia sama Rudi. Gua pengen di sisa hidup gua, gua bisa ngerasaain jadi nyonya, bisa pake tas yang pantas, ngga lagi kemana-mana bawa tas kresek”
Dodi masih diam beku. Kecamuk pikirannya makin menjadi. Ia tersadarkan bahwa hidupnya yang sudah berat akan terasa lebih berat, tanpa Nita. Tak pernah terbayang sebelumnya jika ia harus hidup tanpa Nita. Ia sayang istrinya, ia ingin menghabiskan waktu tuanya bersama. Tapi perkataan Nita barusan menyadarkan bahwa apa yang ia inginkan berbeda dengan apa yang diinginkan Nita.
Dodi mencoba menahan kecamuk rasa di dadanya. Kecamuk yang belum pernah ia alami sebelumnya. Semua rasa jadi satu, marah, malu, sedih, bingung, khawatir. Ia tak kuat mengelola rasa yang saling bertubrukan itu. Alih-alih menjawab pertanyaan Rita, ia membalikan badannya, keluar dari warung sotonya, lalu berjalan tergopoh, entah menuju mana.
-o0o-
Sejak kejadian subuh hari itu, Nita mulai lebih sering keluar rumah. Awalnya hanya Senin malam ketika warung soto mereka tutup. Tapi di minggu-minggu berikutnya, Nita sudah mulai keluar rumah di hari-hari lain. Mungkin sikap diam Dodi diartikan Nita sebagai sebuah persetujuan.
Dodi tak tahu harus bersikap bagaimana. Ia merasa tak nyaman dengan semua kecamuk yang baru kali ini ia rasakan. Ia tak berhenti mencerna apa yang terjadi. Setiap ia berpikir tentang Nita atau apa yang akan terjadi pada rumah tangganya, emosinya menyeruak, membawa kembali sesak di dadanya. Pernah terbersit untuk menegur Nita, tapi ia takut Nita akan emosi seperti waktu itu. Ia juga takut jika ia berdebat dengan Nita, Nita akan meminta cerai darinya. Dodi akhirnya memilih diam.
Seringnya Nita keluar rumah sampai larut malam, membuat Keisya, satu-satunya anak mereka, menyadari ada yang salah dengan kedua orangtua mereka. Beberapa minggu kemudian, apa yang Dodi khawatirkan akhirnya terjadi, sikap Keisya mulai berubah. Ia sering menghindari bertemu ibunya. Jika tak bisa terhindarkan, Keisya membuang muka setiap kali bertemu. Tawaran makan ibunya sengaja ia tak sentuh. Di lain sisi, Keisya sering mencari-cari kesempatan memeluk Dodi dalam banyak kesempatan.
Dodi yakin Keisya sudah tahu apa yang telah terjadi. Meski, ia tak tahu darimana Keisya mendapatkan semua informasi tentang ibunya. Sampai kemudian Keisya menerangkan bahwa ia sudah tahu semuanya dari Alya, sepupunya, anak dari kakak lelaki Nita.
Meski tak menduga, tapi perubahan sikap Keisya memberikan secercah harapan. Dodi berharap Nita akan segera sadar akan kekeliruannya. Kakak lelaki-nya pun nanti akan memberikan saran yang bijaksana untuk Nita. Mungkin butuh beberapa waktu lagi untuk Nita menyadari kekeliruannya, lalu ia akan mulai berhenti keluar malam menemui Rudi.
Dodi masih ingat, kakak lelaki Nita-lah yang berperan besar pada pernikahanya dengan Nita. Kakak iparnya itu yang menasehati Nita untuk menjauhi Rudi yang saat itu sudah berkeluarga. Nita mengikuti saran kakaknya itu dan tak berapa lama ia menerima pinangan Dodi yang saat itu masih bekerja di toko herbal di Bandung.
Hari terus berubah, tapi Dodi tak melihat perubahan yang ia harapkan. Nita masih sering keluar malam menemui Rudi. Sikap Keisya justru yang kini berubah. Ia dan ibunya sudah mulai bercengkerama seperti semula. Bahkan Keisya sudah mulai ikut saat ibunya keluar rumah menemui Rudi. Dodi tak tahu harus senang atau bersedih. Ia senang Keisya kembali menyayangi ibunya. Juga, setiap kembali dari keluar bersama Nita, Keisya tampak riang membawa tas belanja yang berisi baju, atau kadang sepatu dan tas. Ia senang melihat Keisya terlihat bahagia, tapi ia tahu ada bagian hatinya yang tengah teriris-iris.
Harapan Dodi kembali muncul ketika ia mendapatkan pesan singkat dari kakak lelaki Nita yang akan bertamu ke warung sotonya. Ia bilang ia akan bicara dengan Dodi dan Nita. Dodi yakin, kakak iparnya itu akan datang menasehati Nita seperti dulu ia pernah menasehati Nita untuk berhenti menjadi pelakor di keluarga Rudi. Ia bilang ke Nita waktu itu kalau kebahagiaan hidup itu bukan terletak di seberapa banyak materi yang kita miliki, tapi dari seberapa banyak kita bersyukur dengan apa yang kita miliki saat ini. Kakaknya menegaskan bahwa mengejar kemapanan yang ditawarkan Rudi tidak menjamin Nita akan Bahagia. Di lain sisi, ia mengingatkan Nita bahwa hidup itu sejatinya tempatnya cobaan. Kalau kita mau bahagia terus tanpa cobaan, kita harus berhasil masuk syurga, dan untuk sampai sana, kita harus sukses melalui semua cobaan di dunia. Mengingat semua nasihat kakak iparnya itu, hati kecil Dodi kembali berharap, Tuhan membuka hati Nita untuk tidak lagi mengulangi kekeliruannya.
Tapi, Dodi harus kembali menerima pil pahit. Saat kakaknya bertamu, sang kakak justru menyarankan Dodi untuk mencari istri baru. Ia meyakinkan kalau Dodi pasti akan mudah menemukan pengganti Nita. Untuk seorang lelaki, mencari istri yang jauh lebih muda dan lebih cantik itu tidaklah sulit. Ia menambahkan, perceraian dalam rumah tangga itu hal biasa dan diperbolehkan agama, apalagi jika salah satu pasangan merasa tidak bahagia. Mendengar itu semua, Dodi hanya bisa menunduk sambil sekuat tenaga menahan air matanya jatuh. Di ujung matanya yang mulai sembab, ia melihat sang kakak melempar senyum bangga ke arah Nita dan Keisya saat menasehatinya barusan.
Esok paginya, dengan motor bebek butut yang harus diengkol setiap kali dinyalakan, Dodi bergegas ke rumah Pak RT, lanjut ke kelurahan dan kantor urusan agama. Beberapa minggu kemudian, sidang perceraian pun digelar. Saat hakim ditunjuk menanyakan alasan perceraian, Dodi dengan lantang menjawab bahwa ia telah menalak istrinya secara agama, sebab ia tidak lagi mencintai istrinya dan ia merasa sudah tidak bahagia dengan pernikahan mereka. Saat ia dengan lantang menyampaikan jawaban itulah ia melihat senyum tulus di bibir Nita dan Keisya, senyum tulus terakhir yang akan ia simpan erat di memorinya. Dodi tahu, hidupnya setelah ini pasti akan berat, senyum mereka barusan akan jadi sumber kekuatan ia melalui cobaan demi cobaan hidupnya ke depan. Jika cobaan hidupnya nanti terlalu berat, mati tak lagi ia takuti. Ia yakin, kelak ketika ia dibangunkan dari matinya, Tuhan akan berbaik hati menghadiahinya surga. Tuhan pasti tahu, hatinya telah rela berkorban demi dua orang yang ia sangat cintai, bisa merasakan hidup bahagia di dunia. Kebahagiaan yang tak mampu ia berikan, meski seluruh tenaga telah ia kerahkan.
-o0o-
Intro lagu Angka Satu mulai terdengar. Dilihatnya jam di dinding, sudah jam 12.30 malam. Dodi menatap akta perceraian di atas Kasur dengan hati bungah. Letihnya akhirnya terbayar. Nita dan Keisya sudah beberapa minggu ini tinggal bersama Rudi di Jakarta, meninggalkan Dodi sendiri di Warung soto mereka. Tak lama kemudian, lagu Angka Satu sudah mulai masuk verse pertama, Dodi menatap berkeliling dinding rumah sekaligus warung sotonya itu. Tetiba mulutnya ikut melantunkan syair lagu Angka Satu yang tanpa ia sadar ia sudah hafal di luar kepala.
“Masak, masak sendiri.
Makan, makan sendiri.
Cuci baju sendiri.
Tidur kusendiri”