Cinta dalam Stoples
Pagi masih awal, sebagian kabut masih menggantung tenang di lereng gunung Terung. Sebagiannya mungkin telah terbawa angin menuruni bukit lalu larut terbentur dahan-dahan pinus. Suara gemericik air dari sungai Ci Puraseda menembus kisi jendela rumah, menemani Adit melipat sajadah setelah ia menyelesaikan ritual sholat subuhnya.
Adit beranjak ke dapur yang letaknya terpisah dari rumah utama. Di depan tungku kayu ia berjongkok, lalu mengambil kotak korek api yang diletakkan tak jauh dari tungku. Setelah sebentar merapikan susunan kayu, ia mengambil satu batang korek api lalu menggesekkan ujungnya ke bagian sisi kotak korek api. Tak ada satu detik, api menyala di ujungkorek api. Adit meletakkan nyala ke bagian bawah tumpukan kayu bakar. Sepercik api berpindah ke satu bagian kayu bakar, lalu merambah membesar ke kayu lainnya.
Api menyala sempurna, Adit lalu merapikan letak panci yang telah diisi air di atas tungku. Ia tak lekas berdiri, sengaja berdiam di dekat tungku sambil membiarkan badannya merasakan hangat. Sebentar berlari dari dingin pagi yang sedari tadi ia rasakan.
Adit tersenyum membaca tulisan di kotak korek api yang masih ia genggam. Jonkopings Tandsticksfabriks Patent Paraffinerade, Sakerhets-Tandstickor utan svavel, och fosfor Tanda endast mot ladans plan. Pikirannya lalu menerawang ke saat pertama kali ia menjejakkan kaki di pusat kota Jonkopings, tempat pabrik korek api pertama berada. Di salah satu sisi danau Vatern yang terkenal romantis, tetiba Corka, teman satu teamnya bertanya.
“Have you ever fallen in love?”
Adit berhasil menyembunyikan keterkejutannya. Corka yang pendiam dan lulusan terbaik dari Wageningen itu ternyata bisa mengajukan pertanyaan yang sangat pribadi.
“Naaa..” Adit menjawab acuh.
“Seriously?”
“Love is the last thing I want to experience in life, it’s just too absurd”
Perbincangan tak berlanjut. Adit tak peduli apa response Corka, tak penting ia tahu, toh pembicaraan mereka tak ada kaitannya dengan proyek akuisisi perusahaan besar di Swedia yang mereka kini sedang tangani.
Adit melepas nafas pelan. Saat itu dipikirannya cuma tentang pekerjaan. Tak heran, ia dikagumi karena kesigapannya menangani klien-klien besar. Sebagai konsultan, Adit tidak hanya dikenal akan kemampuan analisanya, tapi juga kreatifitas rekomendasi yang ia usulkan. Tidak hanya itu, Adit kesohor mampu membalikan kemarahan klien menjadi sebuah persetujuan. Dengan kelebihan itu, dalam lima tahun bergabung, Adit sudah berada di posisi manager di konsultan yang masuk the big four dunia.
Setelah puas dengan hangat bercampur wangi kayu Kapuk yang terbakar di dalam tungku, Adit berdiri dan bergegas meletakkan daun teh ke dalam poci tembikar. Setelah seujung genggaman teh ia masukan, ia mengambil stoples kaca tempat ia menaruh kuntum bunga melati yang ia petik dari halaman rumah dan telah dikeringkan di bawah terik matahari. Diambilnya tak lebih dari 5 kuncup bunga melati, lalu memasukkannya ke dalam poci tembikar yang sama. Adit melirik stoples kaca lain di samping stoples bunga melati. Stoples dengan ukuran yang sama, pun terbuat dari kaca bening. Di dalamnya ada satu kertas berbentuk hati. Ada satu nama tertulis, tapi tak terbaca dengan jelas.
Adit tersenyum, sejenak mengusap bagian luar stoples berisi kertas berbentuk hati itu. Ia menarik nafas pelan dan dalam. Hatinya ruah, ada kebahagiaan yang menyeruak. Satu nama yang tertulis di kertas berbentuk hati itu pasti seseorang yang Adit sangat cintai.
Adit kembali ke depan tungku, merapikan tumpukan kayu agar api tungku tak terlalu besar. Tak berapa lama, suara udara mendesis keluar dari dalam panci. Adit membuka penutup panci di atas tungku dan melihat permukaan air yang mulai bergolak. Dengan sigap ia mengangkat panci dengan bantuan serbet lusuh, lalu menuangkan sebagian airnya ke dalam poci. Wangi melati menyeruak dari poci tembikar. Adit khusyuk menikmati harum melati berteman suar ayam jago yang mulai berkokok.
Setelah didiamkan beberapa lama, Adit membawa teh pocinya ke beranda di depan rumah. Ia letakkan poci itu di dekat wadah kurma yang sudah tertata rapi di atas meja. Adit duduk di satu dari dua kursi yang diletakan mengapit meja kecil tempat ia meletakan poci tembikar. Matanya menatap arus air sungai tak jauh dari beranda. Tak berapa lama, dingin pagi mulai mereda seiring warna langit yang makin cerah. Suara gemericik air sungai terdengar makin jelas, membawa pikiran Adit menerawang ke dua tahun lalu.
Sudah satu jam lewat dari tengah malam, Adit masih mematung di lingkar luar kolam air mancur tak jauh dari hotelnya menginap, tepat di pusat kota. Setelah lima tahun tinggal di Oregon dan lalu lalang menangani klien di seluruh jagad, ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta, tanah kelahirannya. Ia terdesak oleh perasaan sesak yang membuatnya tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Perasaan yang setiap kali hadir membuatnya kehilangan tenaga, memaksanya tak ingin melakukan apa-apa kecuali menutup matanya dibalik selimut tebal di apartementnya.
Bukan, ini bukan inferior complex yang seringkali dialami konsultan dari asia yang berhasil bekerja di the big four. Ini juga bukan tentang fierce competition atau internal conflict yang membuatnya tak nyaman. Ia tahu itu semua, ia telah membaca tuntas artikel tentang isu teamwork di konsultan-konsultan ternama yang pegawainya memang direkrut dari lulusan terbaik dari seluruh kampus terbaik di dunia. Para lulusan terbaik itu telah terbiasa menempati posisi terbaik sejak mereka kecil, pencapaian yang membuat mereka sulit untuk menerima kekalahan atau bahkan masukan dari orang lain.
Sejak pertama bergabung, Adit tahu apa yang ia perlu ubah. Pelan-pelan gaya bicaranya menjadi lebih tegas. Pengalaman mengajarkan bahwa santun hanya akan membuat dirinya jadi sasaran empuk. Selain ia harus knowledgable di segala aspek, ia juga harus bisa membangun kepercayaan diri setinggi konsultan lainnya. Kepercayaan diri yang tinggi ini yang sering kali membuat para pegawai konsultan besar merasa bahwa mereka tak perlu seseorangpun kecuali diri mereka sendiri. Untuk mencapai itu semua, Adit harus bekerja keras. Setiap hari adalah waktu untuk belajar, sekaligus ujian. Tak ada waktu untuk main-main, apalagi untuk hal-hal yang absurd seperti cinta.
Keputusannya untuk kembali ke Jakarta tak serta merta disetujui perusahaan. Sebagai jalan tengahnya, Adit justru diminta untuk menangani salah satu klien di Jakarta. Perusahaan senang karena tak kehilangan konsultan berbakat seperti Adit. Meski ragu apakah ia bisa memberikan kinerja terbaiknya, Adit berharap Jakarta setidaknya bisa membantunya melupakan apa yang telah terjadi di Oregon.
Mungkin benar apa yang banyak orang percaya, semakin kita menghindar dari sesuatu, semakin ia mendekat. Seberapapun besar usaha Adit untuk menghalau perasaan cinta, ia tak berhasil menolak ketika perasaan itu hadir serta merta. Ia akhirnya sadar, ia sendiri ternyata tak mampu mengontrol perasaannya sendiri. Semakin ia tak menyukai apa yang ia rasakan, semakin besar perasaan cinta menguasai dirinya.
Seperti pepatah jawa, witing tresno jalaran soko kulino, cintanya berlabuh tak jauh. Ia yang ternyata masih balita dalam urusan cinta, akhirnya lumpuh tak tahu harus berbuat apa. Bercerita pada teman satu teamnya tentukan bukan pilihan bijak. Puluhan kanal youtube dan podcast akhirnya menjadi pelarian. Tapi, mengerti cinta ternyata tak semudah ia memahami analysis of accretion atau leverage buyout dalam proses merger dan akuisisi.
Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang bagaimana mengelola rasanya, Adit terjerembab pada siklus perasaan yang tak berujung. Setelah ia tak bisa menghalau rasa cintanya, ia sekuat tenaga menutup-nutupinya. Setelah tersiksa menutupi perasaaannya, ia mulai mencari-cari cara untuk menarik perhatian. Setelah ia mendapat perhatian, rasa cintanya membesar dan membuatnya tak nyaman, lalu ia mencoba menghalau rasa itu sekuat tenaga. Letih, Adit akhirnya menyerah dan tak lagi malu menunjukan usaha untuk mendapatkan perhatian.
Usaha memang tak akan mengkhinatai hasil, setidaknya begitu batinnya menguatkan. Beberapa kali ia berhasil mengajak Corka untuk makan malam berdua, atau pergi ke Sunday market saat senggang. Hati Adit berbunga-bunga. Lalu entah pada interaksi kali ke berapa, Adit merasa perasaannya tak bertepuk sebelah tangan. Seperti disarankan para pakar cinta di kanal youtube, Adit akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.
We only see what we want to see, mungkin begitu penjelasannya. Ternyata perasaan dan perhatian Corka selama ini hanya asumsi Adit semata. Corka bilang bahwa ia tak ada keinginan untuk melanjutkan hubungan mereka ke arah yang lebih serius. Buatnya, cinta itu hanya main-main, pembuang waktu, terlalu absurd. Adit tersenyum dipaksakan ketika ia mendengar penjelasan Corka, tapi hatinya hancur berkeping. Di usia yang telah melewati tiga puluh tahun, ia belum pernah mengalami penolakan serupa penolakan Corka. Ia telah terbiasa menjadi terdepan, terbiasa melakukan usaha terbaiknya tidak hanya untuk diterima tapi juga untuk menjadi yang diandalkan. Pada saat yang sama, Adit merasa ia adalah manusia paling bodoh sedunia karena telah membuang waktu produktifnya untuk hal yang sia-sia, yang justru membuat hatinya patah.
Setahun setelah menetap di Jakarta, Adit berhasil menyelesaikan proyek yang ditugaskan. Hanya selesai. Tanpa perlu atasannya mengatakan, ia tahu hasil dari proyek yang diamanatkan kepadanya tak memenuhi ekpektasi perusahaan. Hal itu yang memantapkan Adit untuk mengundurkan diri. Ia tak ingin kembali ke Oregon, juga tak ingin terus di Jakarta. Ada yang harus ia benahi, begitu batinnya bersuara. Adit akhirnya memutuskan untuk menyendiri dari keramaian hidup, mencoba memahami perasaan cinta yang masih bergejolak, menyelami sakitnya penolakan, dan mengerti kelebat rasa lainnya yang ia baru kenali belakangan. Ia juga ingin lari dari hidup yang selalu tentang karir dan pekerjaan, lari untuk menemukan hidup yang lain yang mungkin bisa memberinya kebahagaiaan baru.
Setelah melalui pertimbangan, Adit kembali ke kampung halaman orangtuanya, tinggal di tanah peninggalan kakeknya di lereng gunung Terung. Di atas ladang miring seluas lima ribu meter, ia menemukan satu petak tanah datar dekat dengan makam kakek dan neneknya. Di tanah itu, ia bangun rumah sederhana seluas 30 meter, cuma ada satu ruang tidur, ruang tamu kecil dan kamar mandi. Dapur-pun harus dibuat terpisah dari rumah utama.
Waktu tak berjalan lebih pelan, hanya saja Adit menemukan makna baru dari setiap satuan waktu yang ia kenal. Dua bulan itu bukan-lah waktu untuknya melakukan stakeholder analysis, tapi waktu yang diperlukan untuk pohon cabai mulai berbunga. Dua minggu itu adalah waktu untuk pucuk daun pepaya siap dipetik kembali dan satu tahun itu berarti buah kedua untuk rumpun pohon Pisang Raja yang ia tanam di belakang rumah.
Dulu, Senin adalah waktu dimana ia harus bergegas mengejar TriMet Bus demi datang awal ke kantor dan punya waktu lebih untuk membuat to-do-list seminggu kedepan. Kini, Senin adalah keriaan di pasar mingguan dekat jembatan desa, dimana Adit bisa berinteraksi dengan para petani lain yang riang berbagi hasil ladang mereka. Setiap menit di pasar adalah waktu belajar dan menangkap makna hidup yang lebih dari sekedar jumlah tabungan di bank, atau pujian dari rekan dan atasan.
Teh di tangannya telah dingin. Adit bermaksud ke dapur untuk menambahkan air panas ke dalam tehnya ketika tetiba ia mendengar handphonenya berdering. Ia bergegas meraih handphonenya. Tak biasa ia menerima panggilan, terlebih panggilan di awal hari. Handphone telah di tangannya, Adit menemukan satu nama muncul di layar handphonenya. Adit ragu.
“Hi Smartass, how are you?” suara Corka terdengar bersemangat
“Hi, been good” Adit terdengar ragu
“I am in Perth now and will fly tomorrow to Manila. I can ask office to arrange a stop-over in Bali. Any chance you can come over, we can have a coffee near the airport?”
Adit menelan ludah, ada pertempuran di hatinya. Setelah beberapa waktu mencari alasan, akhirnya dengan santun ia menolak permintaan Corka. Dengan sisa sedih di hatinya, Adit lunglai melanjutkan ke dapur. Alih-alih menuangkan air dari panci yang tetap terjaga panasnya dari sisa bara kayu, ia justru termenung di depan stoples bening dengan kertas bentuk hati. Adit menyelipkan senyum, pelan membuka penutup stoples. Ia mengambil kertas dari dasar stoples dan membaca nama yang tertulis disana. Hatinya terkuatkan.
Setahun lebih ia mengasingkan diri, mencoba mengumpulkan keping hati yang terserak karena sebuah penolakan. Setahun penuh ia telah dan akan terus belajar memahami setiap emosi yang muncul di hatinya, termasuk perasaannya pada Corka. Pelan-pelan ia pun belajar banyak tentang dirinya sendiri, tentang keinginan dan ketakutannya, tentang penolakan-penolakan di kemudian hari yang bisa saja membuatnya patah hati lagi, tentang hidup yang bukan lagi sebuah kompetisi tapi semata rangkaian pengalaman berharga.
Butuh satu tahun untuk Adit memahami kesalahannya. Dulu Ia berpikir patah hatinya terjadi karena ia dianggap tidak berharga dan tak layak dipilih. Kini ia paham, jika ia sendiri tak mampu mengarahkan perasaannya, Corka pun punya ketidakmampuan yang sama. Patah hati ini bukan salah Corka, bukan pula salah perasaannya. Patah hatinya harus diterima sebagai satu kejadian yang memang harus terjadi, semata agar pengalaman hidupnya menjadi lebih kaya.
Dari pembicaraannya dengan Corka barusan, Adit yakin Corka telah berubah. Corka dengan jujur mengatakan bahwa ia kini menaruh harap dan telah membuka hati untuk Adit. Tapi, Adit masih perlu waktu untuk belajar tentang dirinya lebih jauh. Ia harus menyelesaikan masalah internalnya, memastikan bahwa ia telah menjadi orang yang paling ia cintai dan paling ia banggakan sebelum ia serahkan separuh hatinya untuk orang lain. Ia akan belajar untuk bisa mengatakan ini pada dirinya sendiri “Aku tak perlu orang lain untuk merasa bahagia, tapi aku tak bisa sendiri untuk menjadi bermakna”. Jika semua urusan internalnya telah selesai, nanti jika pun ada penolakan atau perpisahan, Adit tak kan lagi berkabung, ia yakin dirinya sendiri akan selalu ada untuk mengulurkan tangan mengangkatnya, menyiapkan bahu untuk bersandar, dan membuka telinga untuk mendengar.
Suara kokok ayam makin nyaring, Adit bermaksud kembali ke beranda dengan teh hangat di tangan. Dengan hati yang makin yakin, Adit meletakan kembali kertas berbentuk hati ke dalam stoples. Kali ini nama di dalam kertas terbaca jelas, Adithya Kartasasmita, ST, M.Eng, MBA.
Cendana, 6 January 2023