Jiwa yang Belum Menyeberang
Hujan di luar hotel sudah sisa. Suara air sayup menyentuh atap gedung. Udara dingin meruap ke ruangan meeting tempat Yogi dan beberapa rekannya baru akan menyelesaikan sesi pertama diskusi hasil pencapaian penjualan kuarter satu mereka. Meeting akan lanjut setelah break makan malam, Yogi menyeret tas travelnya menuju ruangan kamar yang tertera di amplop kunci kamar. Masih ada waktu untuk check-in dan mandi, yakin Yogi.
Menuju kamar, Yogi sendiri di koridor, ia merasakan bulu kuduknya meremang. Kemarin, saat pembagian kamar, salah satu teman kantornya berbagi cerita mistis tentang hotel yang akan mereka tempati. Yogi datar menanggapi, ia tak percaya tahayul. Bulu kuduk Yogi kembali normal. Tak ada rasa takut, ia sama sekali tak percaya tahayul
Memasuki kamar, gelap total, lampu belum dinyalakan, gorden kamar tertutup rapat. Yogi bermaksud menaruh kunci kamar ke dalam soketnya.
“srettt..”
Yogi melihat sekelebat bayang putih melintas di depan jendela kamar. Ia setengah terperanjat, lalu menarik nafas panjang meyakinkan dirinya itu mungkin lampu mobil yang menembus gorden.
Lampu kamar menyala, ruangan terang benderang. Yogi menempatkan tasnya di meja nakas, mengeluarkan baju kerjanya dan menggantungnya di lemari kamar. Selesai mengeluarkan semua isi tas, ia bergegas ke kamar mandi.
Sejenak ia mematut di depan cermin kamar mandi. Tersadar waktu break meeting tak kan lama, Yogi membalikan badan menggantung baju pada pengait baju di belakangnya. Ia kembali terperanjat ketika sepintas ia melihat sosok perempuan di dalam kaca kamar mandi. Perempuan cantik. Ia gantungkan baju sekejap, lalu kembali menatap cermin. Mencari sosok yang sepintas tadi ia lihat. Tanpa ragu ia mendekati cermin dan tak melihat seseorangpun di cermin maupun di dalam kamar mandi.
Mungkin ia rindu Rima. Ia kembali mematut diri di depan cermin
“Bruakk..” baju dan celana yang barusan ia gantung jatuh ke lantai
---
“Fourteen February, just another day your name lingers, happy valentine day, Beb”
Bunga mawar merah muda dengan kertas bertuliskan kata mutiara itu dikirimkan Yogi di tengah hari bolong. Biar diterima saat Rima sedang sibuk di kantor. Lalu, semua teman Rima terpesona dengan bouquet bunga mawar merah muda di meja Rima dan Rima dengan bangga akan menceritakan betapa Yogi, calon suaminya, adalah pria paling romantis di dunia. Tak menunggu lama, Yogi menerima whatsapp bertanda hati sebesar layar handphonenya. “Nanti setelah meeting, vicall ya”
---
Satu jam lewat dari tengah malam. Yogi kembali melewati koridor hotel sendiri. Sunyi. Sudah tak ada tamu hotel yang masih di luar kamar. Bulu kuduk Yogi kembali meremang. Akal sehatnya kembali Berjaya. Ia tak percaya tahayul. Tapi, kejadian sinar putih dan sosok perempuan cantik di kamar tadi membuat pertahanan akal sehatnya melemah.
Kembali ke kamar, segera ia hentakkan badannya ke atas kasur. Sejenak melepas lelah selepas diskusi panas barusan. Yogi teringat sesuatu. Ia bergegas mengambil handphonenya.
“halo, sayang, belum tidur?”
“kan nunggu telepon kamu. Gimana meetingnya?”
“seperti biasa” Yogi menyusupkan kekesalannya
“ko malam banget selesainya?”
“begitulah”
“kamu lelah banget ya”
“ya” Yogi menjawab datar
“ya sudah, kalau kamu lelah, kamu istirahat, kasihan, by the way terima kas…” sampai sini, suara Rima terputus.
“Bebs..?”
“kenapa ada suara perempuan di kamar kamu, Yog?”
“ngga ada..”
“kamu jangan bohong deh” Yogi terdiam “ituuu..jelas sekali suaranya, ia pasti ada di sampingmu”
“ngga ada..” yogi setengah berteriak “ini aku videoin semua isi kamar, nanti sekalian ke kamar mandi juga” Yogi bangun dari rebahnya dan berkeliling sambil tetap memasang video handphonenya menyala.
“puas? Ngga ada siapa-siapa kan?” Yogi menatap Rima di layar handphonenya. Rima menangis sesenggukan. Yogi bingung.
“Yogi, saya ternyata belum mengenal kamu sepenuhnya, kamu ternyata tak berbeda dengan laki-laki lain.” Setelah itu, Yogi melihat layar handphonenya hitam. Tak ada Rima disana. Ia masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia mencoba menelpon Rima kembali, tapi telponnya ditolak. Ia terus mencoba menelpon sampai ia mendengar nomor yang ia hubungi sedang tidak aktif.
---
Yogi tak bisa tidur semalaman. Ia tak bisa memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Ia tahu ada yang salah, tapi ia tak tahu apa yang salah. Tetiba ia berpikir kalau barusan Rima hanya bersandiwara, pura-pura marah, biar nanti Yogi merayunya kembali. Ah, perempuan, benak Yogi. Yogi tertidur, terbangun kesiangan besoknya. Tapi tak apa, kebanyakan peserta juga terlambat sampai ke ruangan meeting.
Yogi mengirimkan kata-kata manis ke Rima. Sejak bangun tadi, ia sudah merayu biru. Pesannya hanya dibaca, tak ada balasan. Setengah hari berlalu. Empat puisi yang dikirimkan Yogi tak berbalas. Yogi mulai khawatir. Tapi ia tak tahu harus berbuat apa. Meeting selesai lebih awal. Yogi kembali ke kamar malam hari. Tak ada balasan dari Rima. Teleponnya tetap saja tak diangkat. Kehabisan akal, Yogi mencoba menelpon Eva, teman baik Rima.
“Va, hari ini kamu lihat Rima?”
“iya” Eva menjawab datar “Yog, sebagai teman baik Rima, saya cuma ingin mengingatkan kamu untuk jangan lagi menghubungi Rima”
“why? I love her, so much”
“love her?, ah sudahlah. Saya tak ada hak untuk mencampuri hidup kamu. Tapi saya peduli sama perasaan Rima, jadi tolong jauhi Rima”
“Va, pasti ada kesalahpahaman ini” telepon Eva ditutup.
Yogi semakin bingung, apa yang telah terjadi pada dirinya. Pada Rima. Kenapa Rima begitu mudah memutuskan hubungan mereka yang terasa manis dua tahun terakhir. Mengapa Rima begitu gampangnya menuduh ia telah berselingkuh dengan perempuan lain. Yogi duduk lunglai di ujung tempat tidur. Meeting hari ini adalah meeting terburuk dalam karir marketingnya. Ia tak mampu meyakinkan budget marketing tahun depan seperti biasanya ia mampu. Yogi menerawang, apa yang akan terjadi dengan rencananya menikahi Rima, memperkenalkannya dengan orangtua Yogi di Jogja. Yogi mendengus panjang. Matanya berkaca-kaca. Jam 12 malam. Hujan di luar kamar. Yogi bergegas membuka gorden kamar, menatap ke luar. membiarkan kaca kamar memantulkan bayangan dirinya di dalam kamar. Yogi lunglai menatap dirinya di depan kaca.
“whaaattt” Yogi berteriak sejadinya melihat sesosok perempuan berdiri di belakangnya. Ia membalikan badannya. Keringat dingin meluncur deras. Ketidakpercayaannya akan cerita mistis dan tahayul mulai runtuh. Ia dengan jelas melihat sosok perempuan yang sama yang ia lihat kemarin di kamar mandi. Ia jelas melihatnya. Ia menatap berkeliling. Keringat dinginnya mulai reda. Ia memberanikan diri. Tak ada yang perlu ditakuti. Jika ia harus mati karena perempuan demit barusan, tak apa, hatinya toh baru patah hati. Ia pun belum tahu rencananya ke depan setelah Rima memutuskan hubungan mereka.
“demit terkutuk, tunjukkan wajahmu” entah darimana Yogi mulai percaya akan keberadaan makhluk halus. Entah dari mana ia merasa punya kekuatan
“apa mau kamu”. Yogi tegang, keringat dinginnya kembali meluncur. Bagaimanapun, masih terbersit rasa takut jika makhluk halus yang dihardiknya barusan benar muncul. Tapi tak ada apa-apa, tak muncul sesiapa.
Yogi menutup gorden kamar, ia mendekat kaca yang kembali memantulkan bayang dirinya. Ia melihat sosok perempuan di belakangnya. Ia tak seterkejut sebelumnya. Ia membalikkan badannya perlahan. Persis seperti ingin menangkap kupu-kupu. Tak ada sesiapapun di belakangnya. Yogi tak perduli lagi. Ada atau tidak ada makhluk halus yang tadi mengganggunya, tak penting. Ia hanya memikirkan Rima yang kini jauh. Ia merebahkan badannya di kasur. Pikirannya masih menerawang, memikirkan kemungkinan-kemungkinan, membayangkan rencana-rencananya ke depan. Ia menarik nafas panjang. Matanya terpejam. Tetiba ia merasakan ada hembusan nafas di dekatnya. Ia sontak membuka matanya, menatap lurus ke langit-langit. Badannya kaku. Ia merasakan ada sosok lain berbaring di sampingnya. Ia ingin sesegara berpaling, sebagian dirinya menahan lehernya kaku. Jeda yang lama.
“oh my God…siapa kamu?” Yogi akhirnya memalingkan wajahnya. Menemukan sesosok perempuan berbaring di sampingnya. Mengenakan piyama rumah sakit. Yogi langsung sigap berdiri di atas kasurnya, lalu mundur ke ujung kasur. Sosok yang diajaknya berbicara tenang berbaring. Masih menatap langit-langit. Yogi tak tahu harus berbuat apa. Perasaannya bercampur antara berani, takut, kaget, lelah, sedih. Ia mematung lama.
“Saya….Ratih” akhirnya perempuan berpiyama itu berbicara. Ia terbangun mengambang, seperti kapas melayang. Yogi mengucek-ngucek mata tak percaya.
“sssssiiiaapa kamu?” Yogi pingsan di atas Kasur.
---
Esok paginya, Yogi bangun dengan gusar. Ia tak lekas bergegas. Hari ini tak ada meeting, hanya kegiatan opsional. Ingatannya kembali ke kejadian semalam. Masih terngiyang sosok perempuan semalam. Sebagian dirinya menghibur, mungkin pertemuannya dengan perempuan semalam itu cuma mimpi. Yogi bergegas bangun, menatap berkeliling. Ia ke kamar mandi. Membuka lemari, menerawang ke bawah tempat tidur. Tak ada sesiapa. Ia memerika handphone, dompetnya. Semua masih utuh. Ia bernafas lega. Ia hempaskan badannya ke atas Kasur. Hanya mimpi, nafasnya lega. Duduk di ujung tempat tidur, Yogi memandang layar TV kosong. Ia bangun dari duduknya, bermaksud mengambil remot TV. Remote TV telah ditangan. Ia duduk kembali bermaksud menekan tombol power. Ia tersadar ada yang aneh. Notes disamping remote tadi seperti telah ditulis seseorang. Ia pelan-pelan menghampiri notes yang tergeletak di atas meja kamar.
Maafkan kejadian semalam. Saya ada di dekatmu, hanya saja kamu tidak bisa melihat saya di siang hari. Ps. Ratih
Yogi terkejut. Pandangannya berkeliling. Tak ada sesiapapun. Yogi kembali ke remote TV.
“maafkan saya” Yogi terperanjat. Ia mendengar suara perempuan yang sama.
“sial..apa mau kamu, Demit” tetiba remote TV yang dipegang Yogi melayang. Yogi tercenung. Remote itu melayang mendekati wajah Yogi, kemudian mundur dengan cepat, lalu melesat mau menuju wajah Yogi. Satu inchi dari hidungnya. Remote itu berhenti. Lalu jatuh ke lantai.
“maaf, saya emosi, jangan panggil saya Demit. Nama saya Ratih”
“ooookay, Raaa ttiih..apa maumu?” Yogi gemetar. Ia sadar kemampuan orang atau demit yang saat ini ada di dekatnya.
“saya butuh kamu, tapi saya ingin kamu tenang dulu” Yogi menarik nafas. Ia beristigfar. Baru kali ini rasanya ia ingat Tuhan. Butuh waktu untuk akhirnya Yogi benar-benar merasa tenang.
“ookay, sekarang apa yang bisa saya bantu?”
“saya Ratih, saat ini saya masih koma di rumah sakit tak jauh dari hotel ini. Entah kenapa saya tak bisa kemana-mana. Tidak kembali ke tubuh saya, tetapi juga tak menyeberang kealam lain.
“alam lain?”
“ya, alam setelah kehidupan ini”
“maksud kamu, kamu belum meninggal, tapi kamu belum di alam kematian?”
“entahlah, fisik saya masih terbaring. Jantung saya masih berdegup dengan bantuan alat. Secara teori, saya sudah tak bisa hidup tanpa alat-alat itu. Tapi Tuhan masih belum mengizinkan saya berpindah alam”
“kenapa?”
“entahlah, mungkin karena saya tak pernah percaya bahwa akan ada kehidupan setelah kematian. Saya belum siap. Tujuan hidup saya adalah kehidupan itu sendiri. Saya memuja cinta. Semua hidup saya, saya dedikasikan untuk kekasih saya. Dia adalah tujuan hidup saya. Taapiii…” Yogi mendengar suara Ratih menangis. Lirih. Lama. Begitu sedih. Tanpa sadar mata Yogi ikut basah.
“taaapiii??” Yogi mencari jawab
“sudah enam bulan saya dalam kondisi koma. Tiga bulan pertama, kekasih saya setia menemani saya setiap hari. Tapi memasuki bulan ke empat, setelah dokter mengatakan kesempatan hidup saya hanya tinggal 5 persen, Ia sudah punya banyak alasan untuk tidak datang ke rumah sakit. Terakhir, saya tahu, ia telah dekat dengan teman kantornya, mereka sudah memanggil sayang satu sama lain”. Yogi diam
“lalu apa yang bisa saya lakukan?”
“entahlah – jiwa-jiwa yang melayang seperti saya tidak hanya saya. Ada banyak jiwa-jiwa lain yang tak bisa menyeberang ke alam kematian. Mereka menjadi sampah kosmik. Rata-rata dari mereka tak percaya akan ada kehidupan setelah kematian. Mereka salah menetapkan tujuan hidup mereka. Pusat tujuan hidup mereka adalah untuk hidup mereka saat ini. Ada yang hidup demi menumpuk harta, memamerkan rumah dan mobil mewah. Mereka yang masih muda bergitu naif melihat kehidupan sebatas sosial media. Tujuan hidupnya adalah memposting kegiatan mereka demi meraih likes sebanyak-banyaknya”
“kamu, kenapa?’
“entahlah – saya memang tak sepenuhnya percaya akan kehidupan setelah kematian. Saya pikir, setelah saya mati, jiwa saya, seperti tubuh saya, akan terurai menjadi kompos dan hara, tak ada kisah setelahnya”
“saya memang bekerja keras untuk uang, meungumpulkannya, menggunakannya untuk kesenangan saya, baju, perhiasan, liburan, kecantikan. Selainnya, saya memperlakukan kekasih saya seperti raja. Ketika ia senang, hati saya riang. Ia pusat kebahagiaan hidup saya”
“lalu, apa yang bisa saya lakukan?”
“saya ingin kamu menemui kekasih saya, bilang padanya bahwa ia bukan lagi tujuan hidup saya”
“kenapa kamu tak bilang langsung?”
“saya sudah coba – ia tak bisa melihat saya, tak bisa pula mendengar”
“kenapa saya bisa?, dengar ya Ratih, masalah saya juga banyak, ngga ada untungnya saya repot-repot bantu kamu, kamu cari orang lain saja, saya sedang patah hati, saya baru saja diput..” tetiba Yogi teringat sesuatu.
“Damn…Raatih, dimana kamu? jadi kamu yang muncul waktu aku video call dengan pacarku, ya kan?, siaalll, beraninya kamu?..Raatih dimana kamu?” yogi mengambil bantal, dia pukul-pukulkan ke udara hampa. Berharap bantal itu mampu memukul tubuh Ratih yang ia tak tahu sedang bediri dimana.
“maafkan saya…saya cemburu pada hubungan kalian, saya benci melihat kalian bermesraan”
“siaaal kamu ya – apa salah saya ke kamu, kamu tahu, gara-gara kamu, Rima memutuskan hubungannya dengan saya. Semua teman-temannya sekarang menganggap saya buaya darat yang bisa membawa sembarang perempuan ke kamar. Siaaaall kamu” Yogi kembali memukul-mukulkan bantal ke udara.
“maaafkan saya Yogi – saya pikir jika saya tak bisa memiliki kekasih yang saya cintai, maka orang lain pun tak bisa memiliki kekasih yang dicintainya. Saya tahu saya salah, mungkin karena itulah Tuha menghukum saya sekarang”
“maaf…..Yog, Yogii” Yogi diam mematung. “Yog, kamu denger saya kan?”
“pergi kamu, saya tidak dengar, saya tidak dengar”
“Yog..”
“pergi.., siall, saya tidak dengar”
“saya janji, kalau kamu bantu saya, saya akan mengembalikan Rima ke kamu” Yogi menatap berkeliling.
“Bagaimana saya tahu kamu bisa memegang janji”
“saya akan pegang janji, saya cuma butuh kamu untuk menemui kekasih saya, bilang padanya bahwa ia bukan tujuan hidup saya, mungkin dengan itu, jiwa saya akan mampu menyeberang ke alam lain”
---
Ratih meminta Yogi untuk datang ke foodcourt mall tempat Alfian, kekasih Ratih, biasa makan siang. Yogi sudah menyusun kata-kata seperti yang Ratih inginkan. Ia akan bilang baik-baik amanat Ratih. Simple. Setelah itu ia akan pamit. Ratih akan menyeberang ke alam lain. Sebelumnya, Ratih akan bilang ke Rima bahwa ia adalah sosok perempuan yang ada di kamar Yogi waktu itu. Selesai. Damai.
Yogi menuju meja tempat Alfian duduk. Di depannya ada perempuan cantik menatap manja kepadanya. Tetiba Yogi kehilangan kesadaran, tapi ia melanjutkan berjalan tegak menuju Alfian berada.
“praaak” Yogi menampar wajah Alfian. Alfian reflex bangun dari duduknya, membalas tamparan Yogi dengan tonjokan mengarah. “buggg” bogem mentah Alfian mendarat di pipi Yogi.
“heyyyy…siapa kamu, ada urusan apa dengan saya?”
“laki-laki pecundang, kamu tahu saya telah menyerahkan semua yang saya punya buat kamu. Apa mau kamu, saya turuti, baru tiga bulan saya terbaring di rumah sakit, kamu sudah menggandeng perempuan lain” suara Yogi tetiba menjadi feminis. Alfian terkesiap, mengenali suara orang di depannya.
“manaaa, maaana buktinya kalau kamu mencintai saya?” Alfian seperti melihat Ratih di hadapannya. Ia seperti anak kecil yang tertangkap mencuri permen.
“ma, maafkan saya, saya mencinta..i mu” Alfian menghamburkan tubuhnya ke tubuh Yogi. Perempuan cantik yang sedari tadi tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tetiba berdiri, menyiramkan minuman ke wajah Alfian.
“men ji jikan” Yogi melepaskan tubuh Alfian, berjalan cepat menjauhi foodcourt, acuh pada tatapan heran puluhan pengunjung foodcourt.
Sesampainya di toilet, Yogi menatap cermin. Dipandang wajahnya lekat. Ia tak sadar kenapa tiba-tiba ia sudah ada di toilet. Diraba pipi kirinya, ada sakit menyisa, entah karena apa.
“Yog, ternyata, bukan Alfian yang menghambatku menyeberang. Aku butuh bantuan kamu lagi”
“whaattt, nope, cukup Ratih, no more bantuan”
“ini tak seberat tugasmu barusan. Ini alamat saya, kamu cari kunci rumah di pot bunga dendrobimum di teras, nanti kamu buka lemari di kamar utama, kuncinya saya simpan di saku baju warna ungu di closet gantung. Di dalam lemari, ada dua ATM, ada pinnya juga. Saya ingin kamu cairkan semua uangnya, pindahkan ke tabungan kamu. Uangnya tolong gunakan untuk anak-anak di panti asuhan”
“whaatt??”
“Yog, saya melihat pintu terbuka. Saya menemukan tujuan hidup saya. Saya yakin saya akan terseberangkan. Saya butuh kamu melakukannya semua yang tadi saya bilang. Pleassee”
“waktu saya tak lama lagi” Yogi gemetar memengang tisu bertuliskan alamat di dekat wastafel. Ia tak tahu harus menatap kemana. Rasanya ia ingin menatap Ratih. Ia ingin berterima kasih untuk memilihnya untuk membantu. Airmatanya meleleh. Betapa selama ini ia juga telah salah menentukan tujuan hidupnya.
“terima kasih Yogi, sudah saatnya saya menyeberang. Salam untuk Rima” Yogi menutup matanya. Bulu kuduknya meremang, terasakan angin serupa tiupan bayi. Ratih mungkin telah pergi selamanya. “terima kasih Ratih, saya berhutang padamu”.
Starbuck Kuningan, 9 Maret 2019