Cinta Darno dari Haur Geulis
Di luar, di tengah beku dingin udara tengah malam, suara senapan laras panjang saling bersahutan. Semua penduduk di dusun Haur Geulis tiarap bersembunyi di bawah dipan rumah mereka masing-masing. Mereka menahan nafas panjang, dan hanya berani menghembuskannya pelan-pelan. Mereka takut kalau nafas mereka terdengar dari luar.
Nafas mereka yang pelan pelan itu membuat setiap hembusannya terasai sempurna, khawatir, salah satu dari hembusan itu adalah nafas terakhir. Peluru dari salah satu pihak yang bertikai mudah saja menembus dinding rumah mereka yang terbuat dari anyaman bambu, lalu berhenti tepat di jantung mereka. Jika itu terjadi, salah satu hembusan nafas mereka mungkin tak kan sempat melewati kerongkongan.
Darno ikut tiarap bersama abahnya yang renta. Bersanding wajah abahnya yang kaku keras, wajah Darno justru sumringah riang. Pertempuran di kampungnya malam ini adalah sesuatu yang telah lama ia nantikan. Besok adalah waktu yang tepat ia akan menapakkan langkah pertamanya untuk pergi menjemput cinta sejati.
Pikiran Darno terus melayang bebas sampai suara letusan peluru mereda. Ia lalu bergerak merangkak menuju bibir dipan. Abahnya menatap kelakuan putranya dengan kerutan di dahi. Sampai di ujung dipan, Darno mencoba berdiri hendak menengok suasana dari jendela kamar.
Dari bawah dipan, bapaknya meraih ujung kaos kumel yang dipakai Darno. Sejenak tubuh Darno yang masih setengah berdiri oleng. Ia lalu menatap Abahnya, mencoba mengatakan dalam diam bahwa semua akan baik-baik saja.
Abahnya melepas rampasan tangannya dari kaos oblong Darno. Darno berdiri perlahan. Dari balik jendela, ia mengintip keluar melalui celah daun jendela. Matanya bekeliling. Ia tak melihat sesiapa kecuali gelap malam. Ia berpaling ke wajah ayahnya yang kini menatapnya. Darno hanya menemukan ketakutan yang sisa di wajah ayahnya. Darno kembali berpaling mengintip gelap di jeluji jendela rumah reyot mereka. Membelakangi ayahnya, ia menyelipkan senyum disana.
Pagi hari sekali, Darno bergegas menuju sawah. Abahnya masih tertidur di atas dipan kamar. Ia sengaja pergi sebelum Abahnya bangun. Repot kalau ia harus menjawab pertanyaan Abahnya nanti; Ada perlu apa ia ke sawah yang baru saja ditandur?. Atau lebih parahnya, Abahnya itu akan melarangnya pergi ke sawah. Sudah menjadi aturan yang dimengerti penduduk Haur Geulis untuk tidak meladang atau pergi ke sawah di pagi hari setelah ada pertempuran malam harinya. Pasukan DI mungkin masih berdiam di sekitar kampung. Perempuan yang terlihat sendiri ke ladang akan dirampas dan dibawa lari ke hutan untuk dipaksa menjadi harem para tentara DI. Pemuda atau lelaki tua yang terlihat masih gagah akan dipaksa untuk ikut bertempur menjadi anggota tentara mereka.
Abahnya tak tahu bahwa diculik dan dipaksa menjadi tentara DI adalah cita-cita Darno sejak setahun lalu. Untuk cita-citanya itu pula ia giat makan saripati dedak, remah temeh sisa penggilingan padi. Ia tumbuk dedak yang ia beli dari penggilingan padi di desa dengan dua jam bantu-bantu membersihkan mesin pengilingan. Ia tak perlu menjelaskan kepada pemilik penggilingan bahwa dedak itu untuk entog di rumahnya. Karena dedak yang ia bawa memang bukan untuk entog di rumahnya.
Dengan lumpang dan alu, bersemangat ia hancurkan segenap butiran dedak. Hasil tumbukan itu lalu ia saring. Bagian halus hasil saringan ia campur dengan parutan kelapa dan ia kukus dalam lipatan daun pisang. Buat Darno, itu adalah makanan lezat sekaligus mampu mempercepat otot dan uratnya menonjol. Dengan otot dan urat yang ia miliki, ia pasti akan menjadi incaran tentara DI untuk direkrut menjadi pasukan inti yang nantinya ditugaskan untuk peperangan penting melawan TNI.
Halimun tipis berarak di bebukitan desa. Darno sibuk berpura-pura mencabuti rumput di sela bayi padi yang baru sejumput. Teriakan kasar terdengar dari pematang di tepi hutan.
“Angkat tangan!” Darno pelan-pelan mengangkat tangannya. Senyumnya manis mengembang.
Tiba-tiba angannya melayang ke beberapa tahun yang lalu. Ketika Ia berjalan tak jauh di belakang Paijah sepulang bubar dari Sekolah Rakyat, asbak yang dibawa Paijah jatuh mengenai jejari kakinya. Paijah berteriak kesakitan. Darno bergegas mendekati Paijah yang berdiri kaku, meringis menahan tangis. Darno segera membungkuk mendapati jejari kaki Paijah biru karena darah yang mengumpul di balik kulit kaki Paijah.
Tak jauh dari kaki Paijah, asbak yang terbuat dari batu kali hitam tergeletak. Grip untuk menulis pun terjungkil jauh sejarak sepuluh depa. Bingkai kayu yang dibuat mengelilingi asbak sompel di beberapa bagian. Lubang kecil di ujung kiri bingkai untuk menyangkil tali agar asbak berat ini mudah dibawa, terserabut. Tangan Darno lincah melilitkan tali pengait hingga asbak berat itu bisa kembali ditenteng ringan.
Darno mendongak pelan mencari wajah sang pemilik asbak. Paijah dalam ringis mencoba tersenyum menyampaikan terima kasih. Tanpa kata, Paijah meraih pundak Darno ketika Darno berdiri. Mereka saling menatap. Darno mencoba memapah Paijah. Paijah terseok, kakinya terasa sakit meski hanya untuk menepak seruas tumit kecilnya. Rumah Paijah yang berdekatan dengan penggilingan desa masih tak tampak di ujung jalan.
Darno menatap Paijah yang masih menahan sakit. Tiba-tiba tanpa aba-aba, Darno meraih bagian belakang lutut Paijah lalu mengangkat tubuh kecil Paijah, merangkulnya penuh di dada Darno. Wajah mereka hanya sepertautan. Tak dinyana Darno, Paijah tersenyum. Entah karena terbebas dari rasa sakit, atau karena hangat dada Darno yang telah lama memuja Paijah.
Sekonyong-konyong kepala Darno ditoyor hampir menyentuh lumpur sawah. Darno masih tersenyum. Senyum Paijah di buaiannya di sepanjang jalan menuju rumah masih menggema di kepalanya. Ia tak merasakan sakit ketika kedua tangannya dipulir hingga hinggap dibelakang tubuhnya. Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Darno mulai merasakan nyeri selepas senyum Paijah yang mulai kalis bersama halimun yang memudar.
“Jawab pertanyaan saya!”
Salah seorang dari 3 orang pasukan yang tiba-tiba sudah berada sekitarnya mulai bicara membentak. Darno menengadahkan wajahnya, mencoba menatap wajah lawan bicaranya. Ia baru sadar bahwa sedari tadi pasukan DI ini telah mengajukan beberapa pertanyaan yang ia balas hanya dengan senyuman. Senyum manis atas balasan senyum sumringah Paijah di buaiannya. Darno tak langsung menjawab, matanya berkeliling.
Di bibir hutan tak jauh ia berdiri, beberapa pasukan DI bersiap siaga memegang senjata. Mungkin mereka pikir, Darno adalah umpan yang sengaja dirancang tentara TNI. Satu tamparan kembali mendarat di wajah Darno, kali ini lebih keras. Nyerinya amat sangat. Darno mencoba menyentuh bibirnya yang terasa hangat dan basah. Tapi tangannya terselip di belakang tertahan tangan kekar pasukan DI lainnya.
“Jawab pertanyaan saya dungu, siapa nama kamu?” Sang komandan bertanya lebih keras. Darno menjawab dengan satu nama yang bukan Namanya, “Kerta”. Tamparan lainnya kembali mendarat. Setelah itu ia tak ingat apa-apa.
-o0o-
Enam bulan kemudian, Darno telah menjadi andalan Panglima Sentot, petinggi tentara DI TII yang daerah kekuasaannya meliputi Subang, Cirebon, Sumedang, dan Purwakarta.
Awalnya, berat bagi Darno melawan nuraninya sendiri. Hatinya tak tega menjadi bagian gerombolan yang dengan paksa merampas harta para demang. Ia tahu, saat itu rakyat menjelata. Tak banyak penduduk yang memiliki harta untuk direngut paksa. Kebanyakan rakyat hanya mampu makan onggok sisa pembuatan tepung tapioka. Jangankan beras, gaplek pun sulit didapat. Tentara Jepang merampas dan melarung beras hasil jerah payah rakyat ke tengah laut. Sementara Jagung hanya bisa dibeli oleh para demang. Darno ingat, onggok yang dibeli abahnya tetap berbau tengik meski dimasak dalam balutan daun pisang. Bau menyengat perobek nafsu makan itu sulit diusir akibat berminggu-minggu disimpan dalam karung goni.
Tak jarang para demang mangsa tentara DI itu disiksa dan dibunuh terlebih dahulu. Jika saja memungkinkan, tak hanya rumah demang yang mereka rampok, penduduk yang terlihat memiliki uang cukup banyak akan mereka datangi. Tapi masa itu, tak banyak rakyat yang punya uang dan bisa makan nikmat. Mereka yang tak punya uang sama sekali akhirnya hanya bisa menyerahkan perutnya diisi belegedor, bagian tengah batang pohon pisang yang berwarna putih.
Nurani Darno mencabik-cabik hatinya sendiri saat ia menyaksikan wanita-wanita yang direnggut dari perkampungan lalu dipaksa menjadi istri para tentara yang kini ia berbagi canda dan tawa. Setiap nurani menegurnya, ia tepis semua dengan membayangkan wajah Paijah. Sesaat saja, wajahnya langsung bungah sumringah. Perjuangan beratnya ini demi Paijah, semuanya demi Paijah, teriaknya dalam hati.
Dan segala sesuatu berjalan seperti yang dicita-citakan Darno. Sentot memilih Darno untuk bertugas menunggu tenda sekaligus rumah pribadinya. Darno pernah mendengar dari sesama pasukan DI bahwa Sentot telah mengangkat Paijah menjadi selir termudanya. Di rumah pribadi Sentot itulah nanti Darno yakin akan berjumpa dengan wanita yang telah mengisi hatinya sejak lima tahun lalu. Satu-satunya wanita di hatinya yang kini menjelma satu-satunya tujuan dalam hidupnya. Darno tahu, penugasan ini akan membuatnya selangkah lebih dekat menuju cita-cita akhirnya. Menjemput Paijah, membopongnya dalam pelukan, berlari menembus hutan rimba, sambil sesekali memandang senyum Paijah yang berbaring manis di dadanya. Darno bungah serekah-rekahnya membayangkan akhir dari perjuangan beratnya.
Darno pemuda cerdas, meski hanya makan dedak beras. Ia tak serta merta menampakkan wajahnya di depan Paijah. Ia takut Paijah akan terkaget ketika pertama kali melihatnya, sementara Sentot ada di sekitar mereka. Maka, ketika Sentot pergi memimpin misi ke Cirebon, Darno merasa itu saat yang tepat untuk ia bertemu Paijah.
Darno pemuda cerdik, meski hanya makan protein dari wader cilik. Ia menunggu Dayat, pasukan DI lain yang ditugasi menunggui tenda bersamanya, pergi menguras isi perutnya.
Saat ia berjaga sendiri, ia memberanikan diri memasuki tenda pribadi Sentot. Meski hanya beratapkan terpal plastik dan berdinding pagar bambu, tenda milik Sentot menyerupai sebuah rumah. Di bagian depan ada ruang pertemuan tempat Sentot menyusun strategi. Di belakang ruang depan itu, ada kamar tidur yang pintunya hanya ditutupi selembar kain.
Darno pelan memasuki tenda. Dadanya bergemuruh lebih hebat dari gemuruh saat ia harus berperang melawan tentara TNI. Perasaan Darno campur aduk antara riang, karena cita-citanya akan segera mewujud, dan rasa takut, jika Paijah ternyata tak pernah dan tak akan menyukainya.
“Pengawal! Beraninya kamu masuk ke tenda Panglima!” Suara seorang wanita menyambut langkah Darno melewati ruang depan. Darno kikuk. Di depannya, empat meter berjarak, seorang wanita menodongkan belati lurus ke arah Darno.
“Ma...af, Panglima Putri,saya Kerta..eh..maksud saya Darno”
Sepi.
“Dar no?” Suara Paijah terbaca terbata telinga Darno.
Darno mendekat sedepa setelah yakin wanita di hadapannya itu tak lain dan tak bukan adalah Paijah, bidadari hatinya. Ia memberanikan diri berjalan mendekat. Ia melihat Paijah pelan menurunkan belati di tangannya. Darno bergegas ketika ia mendengar isak tangis Paijah.
“Ke kenapa..? kenapa kamu menangis Paijah?” Kini Paijah hanya satu depa di hadapan Darno
“Aa apa yang kamu lakukan di sini?” Suaranya parau bergetar.
“Aku disini karena kamu, Paijah, aku ingin membebaskanmu, lalu menikah denganmu” Darno mantap berucap sambil menatap mata Paijah. “Kamu mau kan kembali ke Haur Geulis bersamaku, Paijah?” Darno makin mantap. Tangannya pelan menyentuh bahu Paijah.
Tanpa Darno duga, Paijah mengibas tangan Darno menjauh. Paijah melanjutkan tangisnya. Darno bingung. Ia yakin, tangis Paijah adalah tangis bahagia karena sebentar lagi ia akan bebas dan dapat kembali ke Haur Geulis bersama dirinya. Tapi, kenapa barusan Paijah menghela tangannya.
“Kamu mau kan, Paijah? Kita akan membangun keluarga kecil, kita akan punya empat anak yang lucu-lucu” Darno tak tahu bagaimana rencana itu tiba-tiba datang ke kepalanya. “Kamu mau, kan? setahun ini aku sengaja bergabung dengan pasukan DI, demi kamu Paijah” Tatap mata Darno lurus penuh percaya diri.
“Kamu bergabung dengan DI demi aku?” Tanya Paijah dengan suara seraknya.
Darno menganggup mantap.
“Kamu rampok harta rakyat demi aku?” Darno mengangguk bangga.
“Daaan, kamu membunuh para demang, rakyat jelata, gadis desa yang tak mau dibawa ke hutan, semua demi aku?” Darno merasa ada yang salah dengan rangkaian pertanyaan Paijah. Tapi, ia tak punya jawaban lebih benar kecuali mengangguk.
Tiba-tiba tangis Paijah pecah. Darno refleks mencoba merangkul Paijah. Tapi serta merta Paijah mendorong Darno menjauh. Darno jatuh terjerembab dipenuhi tanya.
Pelan-pelan ia berdiri kembali, mendekati Paijah yang masih menangis. Wajahnya memelas penjelasan dari Paijah.
“Aku tak bisa hidup bersamamu Darno, aku tak bisa hidup sambil membayangkan bahwa aku adalah alasan kamu membunuh orang” Paijah tak berani menatap mata Darno
“Taa..tapi, aku lakukan semua itu demi kamu, Paijah”
Tangis Paijah makin menjadi. Darno menyadari kesalahannya sendiri.
“Aku mencintaimu Darno, menunggumu setiap waktuku, tapi aku tak sanggup menerima kenyataan bahwa kamu telah membunuh orang lain demi aku” Paijah berucap lebih lugas kali ini.
Darno mulai mengerti jalan pikiran Paijah. Ia sedih mengetahui segala jerih payahnya selama ini tak membawa hasil seperti yang ia inginkan. Ia menyesal sejadinya. Seharusnya ia tahu, Paijah yang berhati putih itu tak kan mampu mencintai seorang pembunuh seperti dirinya. Darno diam terkulai lemas. Setetes airmata tak mampu ia tahan. Paijah mencuri tatap, melihat Darno dengan haru. Di dalam hati Paijah, Darno tetap satu-satunya lelaki yang pernah ia bayangkan duduk bersamanya di pelaminan.
“Maafkan aku Paijah, seandainya aku tahu cara lain untuk menemuimu, pasti sudah aku lakukan” Darno tak mampu menatap mata Paijah. Paijah sehasta mendekati Darno.
“Izinkan aku memelukmu, untuk terakhir kalinya” Darno memelas, Paijah diam mengiyakan. Tiba-tiba.
“Kerta...!!” sebuah teriakan melerai pelukan Darno dari tubuh Paijah. “Angkat tangan kamu Kerta”
Darno terkaget bercampur takut. Ia pelan-pelan mundur menjauhi Paijah. Tatap matanya lurus menatap wajah Paijah, menyusuri setiap incinya. Darno tersenyum Bahagia ke arah Paijah. Meski belum sepenuhnya siap, Darno merasa bahagia karena jika ia harus mati sekarang, wajah Paijah lah yang terakhir terekam matanya, dan itu cukup untuk bekal di kehidupan berikutnya.
“Berani betul kamu menyentuh Panglima Putri, Panglima Sentot pasti akan membun..” Suara Dayat terhenti disana. Sebilah belati terhunus tajam di dadanya. Darno terkaget dengan kesigapan Paijah mendaratkan belati itu tepat di dada Dayat. Dayat ambruk tak bersuara. Darno menatap Paijah terheran. Paijah tak menunggu waktu, lalu menarik tangan Darno.
“Sekarang kita impas, kita harus kembali ke Haur Gelis, sekarang!”