Pintaku Bunda, Biarkan Aku Belajar
Pintaku Bunda, Biarkan Aku Belajar
Bunda,
waktu aku kecil, aku tak henti menangis meski telah kau bawakan pistol buatan.
Pun ketika kau belikan aku miniatur pesawat tempur.
Andai bunda tahu,
bahwa tangisku karena aku ingin buku,
dengan gambar pistol dan pesawat tempur.
Mungkin dengannya aku tak hanya punya pistol dan pesawat buatan
Bunda, waktu dokter bilang aku harus pakai kaca mata,
aku ingin bunda tahu, aku tak butuh kaca mata.
Belikan saja aku mata yang lain, Bunda.
Biar setiapku lelah sehabis membaca, aku bisa mengganti mataku dengan mata yang baru
Maafkan aku bunda, jika kerap aku seolah terlelap tidur,
ketika bunda bertandang ke kamarku setiap malam.
Padahal setelah bunda keluar, aku bergegas membaca dengan setitik saja nyala.
Hingga esoknya, engkau nyaris putus asa membangunkanku untuk berangkat ke sekolah
Bunda ketika aku beranjak remaja, kerap aku berbohong padamu.
Uang sekolah yang aku bilang hilang ditilang preman, baru saja kubelikan buku-buku bekas di pasar loak
Maafkan aku, Bunda.
Jika Bunda izinkan, aku tak hanya ingin ke negeri Cina,
tapi juga ke Roma, bahkan ke Tibet di sisi Himalaya.
Biar penuh kepalaku, Bunda.
Penuh dengan kebijakan alam dan keindahan dunia
Dan bila kepalaku membesar, dan terus membesar,
aku takkan mengeluh Bunda,
meski akan dengan berat kupapah kepala besarku setiapku berjalan.
Tapi Bunda,
Jangan Bunda memintaku,
mampu membeli kereta baja dan istana kaca,
seperti putra sahabat bunda.
Karena aku tak mau dan tak mampu membelinya, Bunda
Aku Cuma mau dan mampu membeli,
sebuah perpustakan kecil di rumah.
Biar aku bisa mengembara ke ujung dunia dengannya,
biar aku bisa serasa di surga bunda
Bunda,
dalam kisah yang kubaca,
Nabi kita bilang,
jika kita ingin dunia, kita bisa mendapatkannya dengan belajar, Bunda.
Pun jika kita inginkan akhirat, kita juga bisa mendapatkannya dengan belajar.
Jika kita ingin keduanya, kita pun bisa mendapatkannya dengan belajar, Bunda.
Bukan dengan kereta baja dan istana kaca milik putra sahabat Bunda
Bunda,
Miskin mungkin bencana
Tapi kaya juga cuma karunia*
Biarkan dengan belajar,
aku bisa tetap bahagia,
meski tak punya kereta baja dan istana kaca
Plaza Mandiri, 4 Februari 2005
*) dikutip dari Rumah Cinta, Joko Pinurbo
Melawan Keinginan Sendiri
Ini bukan tentang shoe cover warna biru kesukaan saya
Bukan pula tentang kenangan Indah terakhir kali saya mengenakannya saat berjalan dibawah rintik salju di Charles Bridge
Ini juga bukan tentang pagi temaram,
atau tentang hujan yang konsisten sejak semalam,
yang keduanya bersepakat membawa dingin melalui jendela yang terbuka sedikit,
menumbuhkan ingin sebesar gunung untuk kembali bergumul di bawah selimut biru yang saya beli di Pasar Baru
Ini tentang ikhtiar saya, melawan keinginan sendiri
Menebas rasa malas, memerangi ingin yang sering tiba-tiba membajak hati nurani
Ini tentang perjuangan abadi, melawan keinginan sendiri
karena tak semua keinginan baik adanya,
karena satu keinginan buruk terpenuhi, seribu keinginan akan datang menghampiri
I just heard all the voices crippling on your head
It’s okay to be warry.
Do you remember a tale about a little bird you ‘ve told me, who chirps in the morning, smiles to the sunrise, embraces his cryptic path?
Albeit the unknown, he sings to the dark clouds, juggling between sparkling thunders. He is alone, like we are all born and die alone.
How are you, really?
Whatever you are at, you are okay
Utuh
Jangan mengeluh
Jangan mengaduh
Ini cara Tuhan membuatmu utuh
Sepertimu yang merindu separuhmu
Bahagiamu pun butuh separuhnya,
Dan separuhnya ia adalah dukamu
Nikmati saja, padu bahagia-duka mu
Nikmati, menjadi-utuh mu
Runtuh
Runtuh,
ketika kita tidak lagi bernafas,
kesombongan yang kita tumpuk tumpuk
tak kan lagi ada pijakan.
Sayangnya, kesombongan seperti bayangan.
Kadang jelas terlihat, tapi seringkali samar,
dan tanpa sadar kita menumpuknya lebih tinggi dari jati diri
Kesombongan pun bisa menduplikasi diri,
membuat kita jadi dua berbeda.
Bisa percaya dan tidak percaya pada saat yang sama,
tentang kita yang akan tidak lagi bernafas,
runtuh.
Grateful
I thought happiness is love
Until I had my first broken heart
I believed happiness is getting all that I wanted
Until didn't get what I wanted made a better me
I then stop wandering
and go with mundane breaths,
where I found happiness is nearby,
hanging onto a word of grateful
Zikir
Dulu, aku tak mengerti mengapa harus kulantunkan zikir mengagungkanNYA. Jika IA memang agung, IA tak perlu disanjung. Pun, IA bilang dalam kitabNYA, sesungguhnya zikirmu itu untukmu.
Kini, aku paham, zikirku mengagungkanNYA bukan untuk mengagungkanNYA, tapi untukku melihat kelemahanku, mengajariku berserah total, karena dalam hidup, banyak hal diluar mampunalarku.
Berserah padaNYA bukanlah menyerah, tapi berupaya semampubisaku dengan terus mengingat ada kuasaNYA menyerta
Suffices
God has HIS own way to protect; through the absence of desire toward something that isn’t good, by sending people who are good and putting away those who are not, by bringing the feeling of content toward things and people we are having. God is good, HE suffices
Kabut di Matamu
Katamu kabut yang membuat pandangmu keliru
Lalu, kau teteskan air bertuba ke matamu
Pandangmu lalu menjumpa badai
Tidakkah terbersit,
bahwa pikirmu yang justru menipu
Berhenti saja berderap, lalu diam
Biarkan kabut dipikirmu menguap pulang,
melalui celah di telinga dan dibawah kelopak matamu
Berhentilah, lalu diam
Jangan biarkan pandangan dan tuduhan mereka menyublim jadi kabut, atau cerita cerita romantis merupa pelangi palsu, di pikirmu
Berhenti sajalah, lalu diam
Biar jernih pikirmu,
Lalu mampu melihat bahagia disetiap ujung tatapmu
Lencana
Saya seringkali merasa seperti jendral bintang tujuh dengan rupa-rupa lencana di dada. Seperti anak TK di hari kemerdekaan, tak luput satu kesempatanpun saya tunjukkan satu-satu lencana saya ke semua orang. Demi meraih pengakuan, semua lencana itu saya bawa kemana-mana dan sepanjang waktu. Bila perlu, saya ayunkan tangan saya ke dada, biar semua mata menatap ke rentetan lencana di dada saya.
Saya lupa bahwa tak semua orang tahu makna dan upaya di balik semua lencana. Saya terlewat menyadari, bahwa di mata banyak orang, lencana saya hanyalah graffiti dari benang wool yang dirajut alakadarnya. Saya lupa, dari delapan milyar orang di dunia, milyaran dari mereka memiliki lencana yang jauh lebih digjaya dari yang saya punya. Parahnya, dalam lupa berkarat, saya merasa semua lencana itu melekat ketat, membuat saya berhak disukai dan dihormati, tak peduli waktu dan dimana. Padahal, di banyak waktu dan tempat, lencana saya kehilangan kedigjayaannya. Rapuh, tak lagi punya harkat.
Di sini, di bagian bumi yang terasa asing, rentetan lencana yang saya kumpulkan dengan segenap usaha telah berubah bentuk. Lencana-lencana itu kini merupa tutup teh botol yang dipukul-pipihkan, direncengkan dalam satu paku abu abu, lalu direkatkan pada papan kayu tua. Tak lagi berharga, tak guna dibawa serta. Jika pun terbawa, ia berbunyi gemerincing justru meruncingkinkan rasa malu.
Nanti, jika saya kembali, saya berharap rentetan lencana yang pernah saya punya tetap serupa sekarang, tak berbunyi nyaring, rapi terbaring di dalam hati, secukup dirasai, sepantas disyukuri.
Vesaliustraat91 - 16 May 2024